Kupang Arahntt.com Majelis Hakim Pengadilan Negeri kelas IA Kupang Mengabulkan sebagian gugatan perdata PT.Sarana Investama Manggabar (PT SIM).
Gugatan perdata PT SIM tersebut dilakukan terhadap Pemerintah Provinsi NTT dan PT. Flobamor terkait dengan kerja sama Bangun Guna Serah (BGS) pembangunan sarana wisata dan pengelolaan Hotel Plago di Pantai Pede, Manggarai Barat.
Amar putusan perkara tersebut disampaikan Majelis Hakim melalui sistem e-court/ e-litigasi kepada para pihak dalam perkara tersebut, 14 November 2023 Siang.
Majelis Hakim Ketua Florence Katerina didampingi dua hakim Consilia Ina Palang Ama dan Rahmad Aries dalam amar putusannya menyatakan,mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
Sementara Kuasa hukum PT. SIM, Khresna Guntarto, menjelaskan putusan tersebut menegaskan bahwa Pemprov NTT dan PT Flobamor yang sesungguhnya merupakan pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap PT. SIM.
Pemecatan sepihak dan pengusiran PT. SIM sebagai mitra BGS, serta penunjukan PT. Flobamor sebagai mitra kerja sama pemanfaatan (KSP) bangunan eks Hotel Plago yang telah dibangun oleh PT. SIM merupakan perbuatan melawan hukum.
Lanjut Khresna, Majelis Hakim juga menilai dan menyatakan Kontrak PKS tanggal 23 Mei 2014 antara Pemprov NTT dengan PT SIM adalah sah dan mengikat. PT. SIM juga telah melaksanakan perjanjian sesuai dengan kontrak.
Kendati demikian, Putusan Majelis Hakim baru akan berlaku setelah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Oleh sebab itu, sesungguhnya, kata Khresna, tidak ada yang salah dan tidak ada pelanggaran hukum di dalam Kontrak PKS tanggal 23 Mei 2014 yang sudah dibuat oleh Pemprov NTT dengan PT SIM.
Termasuk, lanjutnya, didalamnya ada penentuan nilai kontribusi sebesar Rp 255 juta/ tahun, ditambah dengan pembagian keuntungan sebesar 10% di tahun ke 10 setelah BEP (Break Even Point).
“Pemecatan sepihak dan pengusiran PT SIM, lalu terjadi penunjukan PT Flobamor sebagai mitra KSP pengganti adalah fakta yang telah terjadi dan tidak bisa dipungkiri, yang mengakibatkan kerugian bagi PT. SIM,” ujar Khresna.
“Fakta tersebut tidak boleh diabaikan dengan seolah-olah tidak pernah terjadi pemecatan dan pengusiran terhadap PT. SIM. Bahkan, terdapat Keputusan Gubernur Viktor Laiskodat yang menunjuk PT Flobamor sebagai mitra KSP menggantikan PT SIM,” sambungnya.
Khresna mengharapkan agar putusan ini bisa membuka wawasan dan cara pandang Penyidik dan/ atau Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi NTT terkait perkara dugaan tipikor yang menjerat PT SIM dan mitra usahanya PT Sarana Wisata Internusa (PT SWI) yang sudah menetapkan tiga orang tersangka.
Putusan ini menunjukkan persoalan kerja sama BGS Pantai Pede adalah perkara perdata dan bukan pidana.
Putusan hakim menegaskan tidak ada yang salah dalam suatu Perjanjian Perdata yang sudah disepakati, termasuk perihal isi dan substansinya, seperti penilaian kontribusi.
Apalagi, dalam hal ini PT SIM sudah terbukti membangun bangunan hotel senilai kurang lebih Rp 25 miliar dan sudah diambil secara melawan hukum oleh Pemprov NTT.
Khresna melanjutkan, tuduhan Jaksa Penyidik dan Kejati NTT dengan BPKP NTT dan Penilai Pemerintah Provinsi dari BPAD NTT terkait klaim terjadinya kerugian keuangan negara senilai Rp 8,5 miliar adalah berlebihan dan menyesatkan.
Sebab, perhitungan tersebut bersumber dari penilaian Penilai Pemerintah Provinsi BPAD NTT Tahun 2022 era kepemimpinan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang menentukan nilai kontribusi seharusnya senilai Rp 1,5 miliar/ tahun.
Nilai tersebut diambil dengan mengklaim nilai wajar hasil pertemuan NJOP dengan Harga Pasar di Desa Gorontalo adalah senilai Rp 1,1 juta/ m2, kemudian dikalikan luas tanah 31.670 m2, sehingga ketemu total nilai Rp 35,8 miliar.
Lalu dikalikan persentase nilai kontribusi yang ditetapkan oleh BPAD di Tahun 2022 sebesar 4,3 persen/ tahun, sehingga ketemu nilai Rp 1,5 miliar/ tahun.
“Perhitungan tersebut bias kepentingan, karena seharusnya auditor BPKP NTT melakukan penilaian dan perhitungan sendiri. Bagaimana mungkin menggunakan data dari BPAD NTT Tahun 2022. Padahal, BPAD juga dulu adalah lembaga yang mengeluarkan penilaian kontribusi untuk PKS tanggal 23 Mei 2014. Lalu, berubah Gubernur, data dari BPAD selalu berubah-ubah penilaiannya pada 2019, 2020 dan terakhir 2022,” terang Khresna.
Penilaian Rp 255 juta/ tahun pada PKS tanggal 23 Mei 2014 tidak bisa dianggap salah dikarenakan menggunakan persentase 3,3 persen berdasarkan nilai sewa Barang Milik Negara berdasarkan Peraturan Menkeu.
Pada tahun tersebut belum ada Keputusan Gubernur yang menentukan persentase nilai kontribusi tahunan BGS, yang kemudian baru ditetapkan Gubernur di tahun 2016 senilai 2 persen. Selain itu, nilai wajar yang ditemukan di tahun 2014 sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Ayat (2), Permendagri No. 17/ 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah disebutkan bahwa penilaian dilakukan untuk menghasilkan nilai wajar dengan ESTIMASI TERENDAH ADALAH NJOP.
“Nilai persentase 3,3 persen sudah lebih besar dari Keputusan Gubernur di tahun 2016 yang hanya menentukan 2 persen. Dasar penilaian BPAD Tahun 2022 menghitung 4,3 persen menjadi janggal. Nilai wajar yang ditemukan di tahun 2022 juga tidak jelas berasal dari harga pasar tahun 2014 dan berasal dari Desa Gorontalo atau bukan,” jelasnya.
Pasca PT SIM telah di PHK, Pemprov NTT melalui Gubernur Viktor Laiskodat telah menetapkan PT. Flobamor sebagai mitra kerja sama pemanfaatan (KSP) untuk mengelola Bangunan Hotel Pantai Pede yang telah dibangun oleh PT SIM. Namun, bukannya memberikan kenaikan kontribusi sesuai harapan Pemprov NTT, PT Flobamor malah tidak perform, serta tidak memberikan kontribusi sama sekali mengakibatkan Pantai Pede terbengkalai.
Sehingga menjadi sungguh sangat aneh bila PT SIM yang justru dianggap korupsi dengan menetapkan tiga orang tersangka sekaligus dari pihak swasta yang terkait dengan PT SIM. Bila ini terus dibiarkan, maka sungguh zalim aparatur pemerintahan provinsi NTT dan Kejaksaan Tinggi NTT dan BPKP NTT.
Khresna menilai, terdapat dugaan konflik kepentingan antara Pemprov NTT, Kejati NTT dan BPKP NTT dalam melakukan kriminalisasi terhadap PT.SIM dan PT SWI dan proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dapat sewenang-wenang dan cenderung dipaksakan.
Dugaan konflik kepentingan tersebut begitu kuat dalam kriminalisasi PT SIM. Selain melakukan PHK dan pengambilalihan paksa bangunan Hotel Plago yang dibangun oleh PT SIM di Pantai Pede,Manggarai Barat, ternyata Pemprov NTT sebagaimana pengakuan Dr. Drs. Zet Sony Libing, M.Si dalam Dapat Dengar Pendapat Umum Komisi I DPRD Provinsi NTT pada 15 Mei 2020 menyatakan telah membuat laporan kepada Kejaksaan Tinggi NTT terhadap PT. SIM.
Sementara itu, Pemprov NTT cq Gubernur NTT Viktor Laiskodat telah beberapa kali mengadakan MoU dengan Kejati NTT dan BPKP NTT sepanjang tahun 2020-2021.
Bahwa oleh karena itu, PT. SIM telah melaporkan dugaan tersebut kepada Presiden RI, Kejaksaan Agung RI, Komisi III, Komisi II dan Komisi XI DPR RI, BPKP RI pada tanggal 21 dan 25 September 2023 yang lalu, serta kepada Komisi Kejaksaan RI pada 05 Oktober 2023, kemudian Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 11 Oktober 2023 lalu.
Preseden Buruk
Bahwa kriminalisasi terhadap PT. SIM dan PT. SWI terkait kerja sama BGS Pemanfaatan Aset Daerah Provinsi NTT di Pantai Pede merupakan preseden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia. Padahal, Pemerintahan RI di bawah naungan Yang Mulia Presiden Jokowi telah mengamanatkan agar investor diberikan jaminan kepastian hukum dalam berusaha.
Semangat Pemerintah Pusat tersebut tidak sejalan dengan kebijakan kriminalisasi yang dilakukan Pemprov NTT di bawah naungan Gubernur Viktor Laiskodat, Kejati NTT dan BPKP NTT terhadap PT SIM. Apalagi, PT. SIM dipecat dan diusir pada saat baru melaksanakan operasional selama 6 bulan dan terjadi pada saat Pandemi Covid 19, yang seharusnya Pemerintah Daerah memberikan kebijakan stimulus, relaksasi dan pemakluman terhadap keinginan Gubernur untuk menaikkan nilai kontribusi mitra kerja sama swasta.
Menurut Khresna, kepastian hukum seharusnya dijaga sehubungan dengan janji jangka waktu yang ditawarkan dalam Kontrak Resmi pihak Pemerintah kepada swasta. Sebab, jika tidak dihormati jangka waktu perjanjiannya, dengan cara memecat, mengusir dan mengkriminalisasi, maka hal tersebut merupakan wujud ketidakpastian hukum. Terutama saat ini Pemerintah Pusat rajin menawarkan investasi kepada para pengusaha untuk berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang dijanjikan mendapatkan konsesi hingga mencapai lebih dari 100 tahun. Maka, pemberian janji tersebut harus konsisten kepada para pengusaha atau pihak swasta dimanapun. Apalagi jangan sampai menggunakan aparatur penegak hukum untuk mencari-cari kesalahan dalam proses investasi, yang sesungguhnya merupakan ranah hukum perdata.
“Para investor seyogyanya pasti berkorban uang dan menempuh risiko rugi. Tapi bukan risiko penjara dan malah masuk penjara,” ujarnya.
Bila dibiarkan terus menerus pertumbuhan investasi di NKRI khususnya Provinsi NTT akan terganggu dan orang akan takut dengan ancaman kriminalisasi saat berinvestasi dengan Pemerintah.
Kriminalisasi menjadi cara untuk menekan kenaikan Pendapatan Daerah sebagaimana upaya tersebut dilakukan terkait Hypermart di Kupang, Provinsi NTT yang dilakukan Penyidikan Perkara Tipikor.
Namun, setelah dibayar kerugian keuangan negara yang telah ditetapkan, Penyidik Kejati NTT menghentikan perkaranya dengan alasan merupakan perkara perdata.
“Bila sejak semula merupakan persoalan perdata, seharusnya tidak perlu ada upaya penyidikan. Sebab, Kejaksaan sendiri memiliki bagian Perdata dan Tata Usaha Negara untuk memulihkan hak Pemerintah jika dirasakan terjadi kerugian yang bersifat keperdataan dan administratif,” tandas Khresna.(tim)